2.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Kebijakan Fiskal
Kebijakan
fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola/mengarahkan
perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau diinginkan dengan cara
mengubah-ngubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Jadi, kebijakan fiskal
mempunyai tujuan yang sama persis dengan kebijakan moneter. Perbedaannya
terletak pada instrumen kebijakannya. Jika dalam kebijakan moneter pemerintah
mengendalikan jumlah uang beredar, maka dalam kebijakan fiskal pemerintah
mengendalikan penerimaan dan pengeluaran.
Dalam
buku teks teori ekonomi makro, penerimaan pemerintah diasumsikan berasal dari
pajak (tax), sehingga notas yang
digunakan untuk penerimaan pemerintah adalah T. Sedangkan notasi untuk
pengeluaran pemerintah (government
expenditure), seperti yang telah dibahas dalam bagian-bagian sebelumnya,
adalah G.
2.1.1
Pajak
Secara hukum, pajak dapat didefinisikan sebagai
iuran wajib kepada pemerintah yang bersifat memaksa dan legal (berdasarkan
undang-undang), sehingga pemerintah mempunyai kekuatan hukum (misalnya denda
atau kurungan penjara) untuk menindak wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya.
Walaupun pajak sifatnya memaksa, pemerintah tidak mempunyai kewajiban untuk
membalas jasa secara langsung kepada para pembayar pajak. Pajak dipungut untuk
menjalankan roda pemerintahan.
Secara ekonomi, pajak dapat didefinisikan sebagai
pemindahan sumber daya yang ada disektor rumah tangga dan perusahaan (dunia
usaha) ke sektor pemerintah melalui mekanisme pemungutan tanpa wajib memberi
balas jasa langsung, maka pungutan tersebut disebut retribusi. Dari
definisinya, pajak yang nilainya positif akan menyebabkan pendapatan riil makin
rendah atau harga barang makin mahal. Tetapi jika nilainya negatif (subsidi),
pajak akan meningkatkan pendapatan riil atau menyebabkan harga output atau input menjadi lebih murah.
1)
Klasifikasi Pajak
Ada
beberapa pengklasifikasian pajak yang umumnya digunakan, yaitu pajak objektif
dan pajak subjektif serta pajak langsung dan pajak tidak langsung.
a)
Pajak objektif, adalah pajak yang
dikenakan berdasarkan aktivitas ekonomi para wajib pajak. Misalnya, pajak
pertambahan nilai (PPN) dikenakan kepada mereka yang membeli barang dan jasa
kena pajak.
b)
Pajak subjektif, adalah pajak yang
dipungut dengan melihat kemampuan wajib pajak. Biasanya bila kemampuan wajib
pajak semakin besar, beban pajaknya makin besar. Salah satu indikator yang
digunakan adalah pendapatan. Bila pendapatan (lebih tepatnya pendapatan kena
pajak) makin besar, beban pajaknya makin besar. Tetapi bila pendapatan
seseorang masih di bawah pendapatan tidak kena pajak (PTKP), orang tersebut
tidak perlu membayar pajak pendapatan atau pajak penghasilan (PPh).
c)
pajak langsung,
adalah pajak yang bebn pajaknya tidak dapatdi geser kepada wajib pajakyang
lain. Jadi pembayaran pajak langsug adalah pembyaran pajak terakhir.
d)
pajak tidak
langsung, adalah pajak yang beban pajaknya dapat di geser pada wajib pajak yang
lain. Yang paling terkenal dari pajak tidak langsung adalah pajak penjualan,
yang di dalam konteks indonesia dikenal sebagai PPN dan PPMBN. Pajak ini
disebut pajak tidak langsung sebab jika yang dikenakan pajak adalah produsen
dapat digeser sebagian atau seluruh beban pajaknya kepada konsumen atau
sebaliknya.
2)
tarif Pajak , dua jenis tarif pajak yang terkenal
adalah pajak nominal dan pajak presentase.
a)
pajak nominal adalah pajak yang pengenaannya
berdasarkan sejumlah nilainominal tertentu. Notasi untuk pajak nominal adalah
T.
b)
pajak presentasi, adalah beban pajaknya
ditetapkan berdasarkan presentase tertentu dari dasar pengenaan pajak. Notasi
untuk pajak presentase adalah t.Pajak presentase dapat di bedakan menjadi:Pajak
proposional, tarif presentasenya tetap; Pajak progresif, tarifnya makin tinggi
apabila dasar pengenaan pajaknya semakin tinggi; Pajak regresif adalah tarif
pajak makin rendah pada saat penghasilan meningkat.
2.1.2 Pengaruh Pajak Terhadap Pendapatan Konsumsi
a. pajak nominal
pajak
nominal pertama kali mempengaruhi pendapatan diskosabel. Jika pendapatan adalah
Y dan pajak nominal adalah T maka pendapatan disposabel:Yd=Y-T
fungsi konsumsi menurut model Keynes
adalah: C=C0 + bYd dengan adanya pajak nominal, maka Yd= Y-T
dari persamaan diatas terlihat bahwa
pajak nominal tidak mengubah nilai MPC. Artinya pajak nominal tidak mengubah
sensitivitas konsumsi akibat perubahan pendapatan. Yang berubah adalah konsumsi
otonomus, dimana pajak nominal menyebabkan konsumsi otonomus menjadi lebih
kecil sebesar bT.
b. Pajak
proporsional, jika pajak penghasilan yang dikenakan adalah proporsional (t),
maka pendapatan disposabel menjadi:
Yd
= Y –tY = Y(l-t)
Akibatnya
fungsi konsumsi berubah menjadi:
C
= Co + bYd = Co + b{Y(l-t)}
= Co + bY – btY = Co + (b-bt)Y
Ternyata pajak proporsional
menyebabkan MPC menjadi (b-bt) atau lebih kecil sebesar bt, sedangkan konsumsi
otonomus tetap.
2.1.3
Pengaruh Pajak Terhadap Keseimbangan Ekonomi
Karena kebijakan fiskal bertujuan
mengarahkan perekonomian ke kondisi yang ;lebih baik, maka dampaknya terhadap
keseimbangan ekonomi harus dipahami. Salah satu cara paling mudah melihatnya
adalah dengan melihat pengaruh pajak terhadap output keseimbangan.
Kondisi
keseimbangan ekonomi adalah: Y = C +
I + G
Hubungan antara
perubahan pajak nominal (∆T) dengan perubahan pendapatan keseimbangan (∆Y)
adalah: ∆Y = -
2.1.4
Politik Anggaran
Dilihat dari perbandingan nilai
penerimaan (T) dan pengeluaran (G),
politik anggaran dapat di bedakan menjadi angaran tidak berimbangan dan
anggaran berimbang. Hasil yang dicapai dari kebijakan fiskal merupakan interaksi
(resultan) dari dampak pajak dan pengeluaran pemerintah terhadap output keseimbangan. Pengaruh perubahan
pengeluaran pemerintah terhadap perubahan pendapatan keseimbangan, seperti yang
telah di bahas sebelumnya adalah:
∆Y =
Sedangkan pengaruh pajak terhadap
pendapatan adalah:
∆Y = -
a. Anggaran
defisit (deficit budget)
Anggaran tidak berimbang dapat dibedakan lagi menjadi anggaran
defisit (deficit budget) dan anggaran
surplus (surplus budget). Anggaran
defisit adalah anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran
pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah (T ˂ G atau G
> T). Politik anggaran defisit, biasanya ditempuh bila pemerintah ingin
menstimulir pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila perekonomian
berada dalam kondisi resesi. Dengan asumsi kondisi awal anggaran pemerintah
adalah anggaran berimbang (G = T), bila pemerintah menempuh anggaran defisit,
maka ∆G > ∆T, di mana ∆G ≥ 0 dan ∆T ≥ 0. Karena ∆G > ∆T, maka jika
pemerintah menempuh politik anggaran defisit, pemeritah dianggap memilih
kebijakan fiskal ekspansip.
∆Y karena ∆G =
∆Y karena ∆T = -
Sehingga total pengaruhnya (karena ∆G dan ∆T) adalah:
∆Y = + -
=
Karena
penyebutnya sama, yaitu (1-b), maka pengaruhnya dapat ditulis sebagai:
∆Y =
Jika ∆G > ∆T, maka dapat
dikatakan ∆G = ∆T + W, dimana W = ∆G - ∆T, sehingga:
∆Y =
=
= ∆T +
Jadi bila politik anggarannya adalah anggaran
defisit, maka pengaruhnya terhadap pertambahan pendapatan lebih besar dibanding
besarnya defisit pengeluaran yang direncanakan. Bila ∆T = 0; (W = ∆G) atau ∆G =
0; (W = ∆T)
b. Anggaran
surplus (surpus budget)
Kebalikan dari anggaran defisit, dalam anggaran surplus
pemerintah merencanakan penerimaan lebih besar dari pengeluaran (T > G atau
D ˂ T). Atau dapat juga di katakan pemerintah menempuh politik anggaran surplus
bila ∆C ˂ ∆T, dimana ∆G dan ∆T ≥ 0. Karena itu juga, politik anggaran surplus
dilakukan bila perekonomian sedang dalam tahap ekspansi dan terus memanas (overheating). Melalui anggaran surplus
pemerintah mengerem pengeluarannya untuk menurunkan tekanan permintaan atau
mengurangi daya beli dengan menaikan pajak. Pengaruh anggaran surplus terhadapa
output keseimbangan adalah kebalikan dari pengaruh anggaran defisit.
c. Anggaran
berimbang (Balanced Budget)
Pemerintah dikataakan menempuh politik anggaran berimbang bila
pengeluaran direncanakan akan sama dengan penerimaan (G = T dan atau ∆G = ∆T).
Tidak ada ketentuan pokok dalam kondisi ekonomi sepertia apa politik anggaran
berimbang ditempuh. Namun bila pemerintah memilih politik anggaran berimbang,
dua hal utama yang ingin dicapai adalah peningkatan disiplin dan kepastian
anggaran.
2.1.5
Efektivitas Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal dikatakan efektif
bila mampu mengubah tingkat bunga (r) dan atau output sesuai dengan yang
diinginkan pemerintah. Pengaruh kebijakan fiskal terhadap output keseimbangan,
pertama-tama terjadi melalui pengaruhnya terhadap keseimbangan pasar barang dan
jasa.
a.
Dampak kebijakan fiskal terhadap
keseimbangan pasar barnag-jasa
Dampak pengeluaran pemerintah yang
ekspansif (∆G > 0, sementara ∆T = 0) menebabkan kurva IS bergeser kekanan. Pada
tingkat bunga yang sama.
b.
Dampak kebijakan fiskal ekspansif terhadap
inflasi
Dalam analisis IS-LM, perekonomian baru
dikatakan berada dalam keseimbangan jika pasar uang-modal juga berada dalam
keseibangan.
Dalam diagram terlihat bahwa kondisi keseimbangan
awal tercapai pada saat tingkat bunga adalah râ‚’
dan output keseimbangan adalah Y*. Bila pemerintah menempuh anggaran
ekspansif yang menyebabkan kurva IS bergeser ke IS1, tadinya yang diharapkan
pemerintah adalah bertambahnya output keseimbangan sebesar (Y*₁ – Y*), sementara
tingkat bunga tetap. Jarak Y*₁–
Y* adalah sebesar ∆G/(1-b). Namun bila diperhaikan, yang trejadi adalah output
keseimbangan hanya mencapai Y*₂
yang lebih kecil dari yang ditargetkan (Y*₁). Bahkan terjadi inflasi dilihat dari tingkat
bunga yang bergeser ke r₁.
Ternyata penambahan pengeluaran pemeritah
telah menyebabkan naiknya pengeluaran agregat. Naiknya penegluaran agregat
menyebabkan keinginan sektor swasta melakukan investasi semakin besar. Hal
tersebut memang diharapkan pemrintah. Besarnya investasi swasta yang diharapkan
pemerintah kita sebut sebagai investsai yang diharapkan (expected investment), yang dinotasikan Iá´±. Tapi sayangnya peningkatan
permintaan investasi tidak di sertai dengan peningkatan kemampuan pemberian
kredit. Hal itu dilihat dari kurva LM yang tidak bergeser kekanan. Jika
permintaan investasi meningkat, sedangkan penawaran kredit tetap, terjadilah
kelebihan permintaan investasi yang menyebabkan naiknya harga investasi. Ini
ditunjukan dengan naiknya tingkat bunga. Naiknya tingkat bunga, yang berarti
naiknya tingkat biaya modal, menyebabkan ada rencana-rencana investasi menjadi
tidak layak (no feasible), sehingga
terpaksa dibatalkan. Akibat lebih lanjut permintaan investasi nyata (real investmen, Iá´¿) tidak sebesar yang
ditargetkan (Iá´¿ ˂ Iá´±). Karena investasi riil lebih kecil dari investasi yang
diharapkan, maka pertumbuhan ekonomi riil juga lebih kecil dari yang
diharapkan. Dalam diagram 22.4 terlihat bahwa Y*₂ - Y* atau ∆Y
riil lebih kecil dari Y*₁
- Y* atau ∆Y yang diharapkan.
c.
Slope kurva IS dan LM
Secara
grafis, slope LM akan memengaruhi efektivitas kebijakan fiskal. Diagram 22.5
memberikan beberapa perbandingan.
Bila
slope kurva LM mendatar sejajar sumbu horizontal (interval keynesia), maka
kebiajakn fiskal efektif sempurna, karena mampu memengaruhi output keseimbangan
tanpa menimbulkan inflasi. Menurut para ekonomi Keynesian, kurva LM yang
mendatar menggambarkan perekonomian berada dalam kondisi lesu karena perangkap
likuiditas, dimana sekalipun tingkat bunga sudah sedemikian rendah, tingkat
investasi tidak meningkat. Hal ini terjadi karena begitu lemahnya ekspetasi
masyarakat. Agar perekonomian pulih kembali, maka ekspektasi harus dipulihkan.
Untuk itu dibutuhkan campur tangan pemerintah melalui peningkatan pengeluaran
pemerintah yang akan mendorong kegiatan ekonomi.
Dalam
diagram terlihat bahwa kebijakan fiskal ekspansif (ISâ‚’ ke IS₁), telah menaikkan
output keseimbangan dari Yâ‚’ ke Y₁, sementara tingkat bunga tetap di r₁.
Pada
interval antara, dimana slope LM > O, kebijakan fiskal ekspansif (IS₃ ke IS₄), telah menaikan output dari
Y₂ke Y₃, tetapi tingkat bunga juga naik dari r₃ ke r₄.
Bila
slope LM tegak lurus (interval klasik), perekonomian berada dalam kondisi
seperti yang diasumsikan klasik, yaitu kesemptan kerja penuh (full employment) dan uang yang bersifat
netral. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan fiskal tidak efektif sempurna.
Gambaran
lebih rinci tentang hubungan antara slope kurva IS-LM dengan efektivitas
kebijakan fiskal dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel
22.1
Efektivitas
kebijakn fiskal terhadap output
Dan
tingkat harga (bunga)
|
Kurva LM elastis
sempurna (interval keynes)
|
Kurva LM positif
(interval antara)
|
Kurva LM inelastis
sempurna (interval klasik)
|
Kurva IS Elastis
sempurna
|
Tidak terdefinisikan
|
Fiskal ekspansif:
Y naik, r naik
Fiskal kontraktif:
Y turun, r turun
|
Kebijakan fiskal
tidak efektif empurna. Fiskal ekspansif:
Y tetap, r naik
|
Kurva ID Negatif
|
Kebijakan fiskal
efektif sempurna. Fiskal ekspansif:
Y naik, r tetap
Fiskal kontraktif:
Y turun, r tetap
|
Fiskal ekspansif:
Y naik, r turun
Fiskal kontraktif:
Y turun, r turun
|
Kebijakan fiskal
tidak efektif sempurna. Fiskal ekspansif:
Y tetap, r naik
|
Kurva IS
Ielastis
sempurna
|
Kebijakan fiskal
efektif sempurna.
Fiskal ekspansif:
Y naik, r tetap
Fiskal kontraktif:
Y turun, r tetap
|
Fiskal ekspansif:
Y naik, r naik
Fiskal kontraktif:
Y turun, r turun
|
Tidak terdefinisikan
|
2.2 Teori Konsumsi
2.2.1
dasar teori
Investasi merupakan salah satu
bentuk penanaman modal yang dilakukan dengan suatu harapan mendapatkan
keuntungan di masa depan.
a. Investasi
dalam bentuk barang modal dan bangunan
Yang tercangkup dalam invesatasi
barang modal (capital goods) dan bangunan (construction)
adalah pengeluaran – pengeluaran untuk pembelian pabrik-pabrik, mesin-mesin,
peralatan-peralatan produksi dan bangunan-bangunan atau gedung-gedung yang
baru. Karena daya tahan barang modal dan bangunan pada umumnya lebih dari
setahun, seringkali investasi ini disebut sebagai investasi dalam bentuk harta
tetap (fixed investment).
b. Investasi
persediaan
Berdasarkan pertimbangan, perusahaan
seringkali harus memproduksi lebih banyak daripada target penjualan. Misalnya,
sebuah pabrik mobil menargetkan penjualan tahun
2.000 adalah 50.000 unik. Tidaklah berarti produksinya harus 50.000 unit juga.
Umumnya produksinya melebihi tingkat penjualan. Sebut saja 60.000 unit. Selisih
10.000 unit merupakan persediaan, untuk mengatisipasinya berbagai kemungkinan.
Tentu saja investasi persediaan diharapkan meningkatkan penghasilan /
keuntungan. Investasi dalam bentuk persediaan bisa dilakukan dalam bentuk
persediaan bahan baku dan barang setengah jadi/sedang dalam proses
penyelesaian. Tujuan kebijaksaan persediaan ini juga tetap dalam konteks
meningkatkan pendapatan atu keuntungan dimasa mendatang.
2.2.2
Kriteria Investasi
Minimal
ada 4 kriteria investasi yang digunakan dalam praktik, yaitu :
1)
Payback Period (periode pulag pokok),
adalah waktu yang dibutuhkan agar investasi yang direncanakan dapat
dikembalikan, atau waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik impas. Jika waktu
yang dibutuhkan makin pendek, proposal investasi dianggap makin baik.
Kendatipun kita harus mempertimbangkan criteria payback ini. Sebab, ada investasi
yang baru menguntungkan dalam jangka panjang (>5 tahun).
2)
Benefit / cost ratio (B/C Ratio),
mengukur mana yang lebih besar, biaya yang dikeluarkan disbanding hasil output
yang diperoleh. Biaya yang dikeluarkan dinotasikan sebagai C (Cost). Output yang
dihasilkan sebagai B (benefit). Jika nilai B/C sama dengan 1 maka B = C yang
dihasilkan sama dengan biaya yang dikeluarkan.
3)
Net Present Value (NPV), Keuntungan lain
dengan menggunakan metode diskonto adalah kita dapat langsung menghitung
selisih nilai sekarang dari biaya total dengan penerimaan total bersih. Selisih
inilah yang disebut net present value. Suatu proposal investasi akan diterima
jika NPV > 0, sebab nilai sekarang dari permintaan total lebih besar
daripada nilai sekarang dari biaya total.
4)
Internal Rate of return ( IRR ), adalah
nilai tingkat pengembalian investasi, dihirung pada saat NPV sama dengan nol.
Jika pada saat NPV = 0, nilai IRR = 12%, maka tingkat pengembalian investasi
adalah 12%. Keputusan menerima atau menolak rencana investasi dilakukan
berdasarkan hasil perbandingan IRR dengan tingkat pengembalian investasi yang
di inginkan (r). jika r yang diinginkan adalah 15%, sementara IRR hanya 12%,
proposal invastasi ditolak. Begitu juga sebaliknya.
2.2.3
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat
Investasi
a.
Tingkat pengembalian Yang Diharapkan (
Expected Rate Of Return )
Kemampuan perusahaan menentukan
tingkat investasi yang diharapkan, sangat dipengaruhi oleh kondisi internal dan
eksternal perusahaan.
1)
Kondisi Internal Perusahaan, adalah faktor-faktor
yang berada di bawah control perusahaan, misalnya tingkat efisiensi, kualitas
SDM dan teknologi yang digunakan. Ketiga aspek tersebut berhubungan positif
dengan tingkat pengembalian yang diharapkan. Artinya, makin tinggi tingkat
efisiensi, kualitas SDM dan teknologi, maka tingkat pengembalian yang
diharapkan makin tinggi.
2)
Kondisi Eksternal Perusahaan yang perlu
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan akan investasi terutama adalah
perkiraan tentang tingkat produkdi dan pertumbuhan ekonomi domestic maupun
internasional. Jika diperkirakan tentang masa depan ekonomi nasional maupun
dunia bernada optimis, biasanya tingkat investasi meningkat, karena tingkat
pengembalian investasi dapat dinaikkan.
Selain perkiraan kondidi ekonomi, kebijakan yang ditempuh pemerintah juga dapat menentukan tingkat investasi. Kebijakan menaikkan paak, misalnya, diperkirakan akan menurunkan tingkat permintaan akan agregat. Akibatnya tingkat investasi akan menurun. Factor sosial politik juga menentukan gairah investasi, jika sosial-politik makin stabil, investasi umumnya juga meningkat. Demikian pula factor keamanan (kondisi keamanan Negara).
Selain perkiraan kondidi ekonomi, kebijakan yang ditempuh pemerintah juga dapat menentukan tingkat investasi. Kebijakan menaikkan paak, misalnya, diperkirakan akan menurunkan tingkat permintaan akan agregat. Akibatnya tingkat investasi akan menurun. Factor sosial politik juga menentukan gairah investasi, jika sosial-politik makin stabil, investasi umumnya juga meningkat. Demikian pula factor keamanan (kondisi keamanan Negara).
b.
Biaya investasi
Yang paling menentukan tingkat biaya
investasi adalah tingkat bungan pinjaman ; makin tinggi tingkat bunganya, maka
biaya investasi makin mahal. Akibatnya minat berinvestasi makin menurun. Namun
, tidak jarang,walaupun tingkat bunga pinjaman rendah, minta akan investasi
tetap rendah. Hal ini disebabkan biaya tota investasi masih tinggi. Factor yang
mempengaruhi terutama adalah masalah kelembagaan.
c.
Marginal efficiency of capital (MEC),
tingkat bunga, dan marginal efficieny of investment
(MEI)
1)
Marginal efficiency of capital
(MEC),Invetasi, dan tingkat bunga
Yang dmaksud dengan marginal efficiency of capital (MEC) atau efisiensi modal marjinal (EMM) adalah tingkat pengembalian yang di harapkan (expected rate of return) dari setiap tambahan barang modal.
Yang dmaksud dengan marginal efficiency of capital (MEC) atau efisiensi modal marjinal (EMM) adalah tingkat pengembalian yang di harapkan (expected rate of return) dari setiap tambahan barang modal.
2)
Marginal efficiency of capital (MEC) dan
marginal efficiency of investment (MEI)
Sama halnya dengan kurva permintaan akan investasi, kurva MEC secara nasional dapat di turunkan dengan menjumlahkan secara horizontal kurva-kurva MEC dari perusahaan-perusahaan yang ada dalam perekonimian tetapi ada beberapa ekonom yang tidak sependapatan dengan cara penurunan kurva MEC. Padahal jika permintaan barang akan modal secara nasional meningkat, logikanya tingkat bunga akan naik. Akibatnya kenaikan permintaan akan investasi tidak sebesar lurva MEC . kurva yang lebih relevan adalah kurva yang marginal efficiency of investment (MEI) atau efisiensi investasi marginal (EIM).
Sama halnya dengan kurva permintaan akan investasi, kurva MEC secara nasional dapat di turunkan dengan menjumlahkan secara horizontal kurva-kurva MEC dari perusahaan-perusahaan yang ada dalam perekonimian tetapi ada beberapa ekonom yang tidak sependapatan dengan cara penurunan kurva MEC. Padahal jika permintaan barang akan modal secara nasional meningkat, logikanya tingkat bunga akan naik. Akibatnya kenaikan permintaan akan investasi tidak sebesar lurva MEC . kurva yang lebih relevan adalah kurva yang marginal efficiency of investment (MEI) atau efisiensi investasi marginal (EIM).
Jadi,dapat disimpulkan bahwa
Investasi adalah pengeluaran atau perbelanjaan penanam-penanam modal atau
perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan
produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang
tersedia dalam perekonomian. Investasi merupakan komponen kedua yang menentukan
tingkat pengeluaran agregat.
2.2.4
Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Ditingkat perusahaan, syarat untuk memelihara keuntungan adalah dengan
menjaga agar tingkat produksi tidak berkurang. Untuk itu stok barang modal
tidak boleh berkurang. Dilihat dari sisi ini, investasi merupakan upaya
memelihara stok barang modal (capital
stok adjustment process). Besarnya investasi yang harus dilakukan untuk
memelihara barang stoka dalah senilai presentase penyusutan dikalikan stok
barang modal yang diharapkan. Keputusan perusahaan-perusahaan untuk
meningkatkan stok barang modal memberikan dampak positif terhadap total
perekonomian, sebab peningkatan stok barang modal secara nasional akan dapat
meningkatkan kegiatan produksi dan juga dapat memperluas kesempatan kerja.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kebijakan fiskal adalah kebijakan
ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola/mengarahkan perekonomian ke
kondisi yang lebih baik atau diinginkan dengan cara mengubah-ngubah penerimaan
dan pengeluaran pemerintah dan mempunyai tujuan yang sama persis dengan
kebijakan moneter. Perbedaannya terletak pada instrumen kebijakannya. Jika
dalam kebijakan moneter pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar, maka
dalam kebijakan fiskal pemerintah mengendalikan penerimaan dan pengeluaran.
Investasi adalah pengeluaran atau
perbelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang
modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan
memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian.
Investasi merupakan komponen kedua yang menentukan tingkat pengeluaran agregat
DAFTAR PUSTKA
RAHARDJA,
Prathama dan Manurung, Mandala, pengantar
ilmu ekonomi, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universias Indonesia, 2008.