Kamis, 19 November 2015

kebijakan fiskal



2.       
 BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola/mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau diinginkan dengan cara mengubah-ngubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Jadi, kebijakan fiskal mempunyai tujuan yang sama persis dengan kebijakan moneter. Perbedaannya terletak pada instrumen kebijakannya. Jika dalam kebijakan moneter pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar, maka dalam kebijakan fiskal pemerintah mengendalikan penerimaan dan pengeluaran.
Dalam buku teks teori ekonomi makro, penerimaan pemerintah diasumsikan berasal dari pajak (tax), sehingga notas yang digunakan untuk penerimaan pemerintah adalah T. Sedangkan notasi untuk pengeluaran pemerintah (government expenditure), seperti yang telah dibahas dalam bagian-bagian sebelumnya, adalah G.
2.1.1        Pajak
Secara hukum, pajak dapat didefinisikan sebagai iuran wajib kepada pemerintah yang bersifat memaksa dan legal (berdasarkan undang-undang), sehingga pemerintah mempunyai kekuatan hukum (misalnya denda atau kurungan penjara) untuk menindak wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya. Walaupun pajak sifatnya memaksa, pemerintah tidak mempunyai kewajiban untuk membalas jasa secara langsung kepada para pembayar pajak. Pajak dipungut untuk menjalankan roda pemerintahan.
Secara ekonomi, pajak dapat didefinisikan sebagai pemindahan sumber daya yang ada disektor rumah tangga dan perusahaan (dunia usaha) ke sektor pemerintah melalui mekanisme pemungutan tanpa wajib memberi balas jasa langsung, maka pungutan tersebut disebut retribusi. Dari definisinya, pajak yang nilainya positif akan menyebabkan pendapatan riil makin rendah atau harga barang makin mahal. Tetapi jika nilainya negatif (subsidi), pajak akan meningkatkan pendapatan riil atau menyebabkan harga output atau input menjadi lebih murah.

1)      Klasifikasi Pajak
           Ada beberapa pengklasifikasian pajak yang umumnya digunakan, yaitu pajak objektif dan pajak subjektif serta pajak langsung dan pajak tidak langsung.
a)      Pajak objektif, adalah pajak yang dikenakan berdasarkan aktivitas ekonomi para wajib pajak. Misalnya, pajak pertambahan nilai (PPN) dikenakan kepada mereka yang membeli barang dan jasa kena pajak.
b)      Pajak subjektif, adalah pajak yang dipungut dengan melihat kemampuan wajib pajak. Biasanya bila kemampuan wajib pajak semakin besar, beban pajaknya makin besar. Salah satu indikator yang digunakan adalah pendapatan. Bila pendapatan (lebih tepatnya pendapatan kena pajak) makin besar, beban pajaknya makin besar. Tetapi bila pendapatan seseorang masih di bawah pendapatan tidak kena pajak (PTKP), orang tersebut tidak perlu membayar pajak pendapatan atau pajak penghasilan (PPh).
c)      pajak langsung, adalah pajak yang bebn pajaknya tidak dapatdi geser kepada wajib pajakyang lain. Jadi pembayaran pajak langsug adalah pembyaran pajak terakhir.
d)     pajak tidak langsung, adalah pajak yang beban pajaknya dapat di geser pada wajib pajak yang lain. Yang paling terkenal dari pajak tidak langsung adalah pajak penjualan, yang di dalam konteks indonesia dikenal sebagai PPN dan PPMBN. Pajak ini disebut pajak tidak langsung sebab jika yang dikenakan pajak adalah produsen dapat digeser sebagian atau seluruh beban pajaknya kepada konsumen atau sebaliknya.
2)      tarif  Pajak , dua jenis tarif pajak yang terkenal adalah pajak nominal dan pajak presentase.
a)       pajak nominal adalah pajak yang pengenaannya berdasarkan sejumlah nilainominal tertentu. Notasi untuk pajak nominal adalah T.
b)       pajak presentasi, adalah beban pajaknya ditetapkan berdasarkan presentase tertentu dari dasar pengenaan pajak. Notasi untuk pajak presentase adalah t.Pajak presentase dapat di bedakan menjadi:Pajak proposional, tarif presentasenya tetap; Pajak progresif, tarifnya makin tinggi apabila dasar pengenaan pajaknya semakin tinggi; Pajak regresif adalah tarif pajak makin rendah pada saat penghasilan meningkat.
2.1.2 Pengaruh Pajak Terhadap Pendapatan Konsumsi
a. pajak nominal
                  pajak nominal pertama kali mempengaruhi pendapatan diskosabel. Jika pendapatan adalah Y dan pajak nominal adalah T maka pendapatan disposabel:Yd=Y-T
fungsi konsumsi menurut model Keynes adalah: C=C0 + bYd dengan adanya pajak nominal, maka Yd= Y-T
dari persamaan diatas terlihat bahwa pajak nominal tidak mengubah nilai MPC. Artinya pajak nominal tidak mengubah sensitivitas konsumsi akibat perubahan pendapatan. Yang berubah adalah konsumsi otonomus, dimana pajak nominal menyebabkan konsumsi otonomus menjadi lebih kecil sebesar bT.
b.      Pajak proporsional, jika pajak penghasilan yang dikenakan adalah proporsional (t), maka pendapatan disposabel menjadi:
Yd = Y –tY = Y(l-t)
Akibatnya fungsi konsumsi berubah menjadi:
C = Co + bYd = Co + b{Y(l-t)}
   = Co + bY – btY = Co + (b-bt)Y
            Ternyata pajak proporsional menyebabkan MPC menjadi (b-bt) atau lebih kecil sebesar bt, sedangkan konsumsi otonomus tetap.
2.1.3 Pengaruh Pajak Terhadap Keseimbangan Ekonomi
            Karena kebijakan fiskal bertujuan mengarahkan perekonomian ke kondisi yang ;lebih baik, maka dampaknya terhadap keseimbangan ekonomi harus dipahami. Salah satu cara paling mudah melihatnya adalah dengan melihat pengaruh pajak terhadap output keseimbangan.
Kondisi keseimbangan ekonomi adalah: Y     = C + I + G 
Hubungan antara perubahan pajak nominal (∆T) dengan perubahan pendapatan keseimbangan (∆Y) adalah: ∆Y = -
2.1.4  Politik Anggaran
Dilihat dari perbandingan nilai penerimaan (T) dan pengeluaran  (G), politik anggaran dapat di bedakan menjadi angaran tidak berimbangan dan anggaran berimbang. Hasil yang dicapai dari kebijakan fiskal merupakan interaksi (resultan) dari dampak pajak dan pengeluaran pemerintah terhadap output keseimbangan. Pengaruh perubahan pengeluaran pemerintah terhadap perubahan pendapatan keseimbangan, seperti yang telah di bahas sebelumnya adalah:
∆Y =  
Sedangkan pengaruh pajak terhadap pendapatan adalah:
∆Y = - 
a.       Anggaran defisit (deficit budget)
Anggaran tidak berimbang dapat dibedakan lagi menjadi anggaran defisit (deficit budget) dan anggaran surplus (surplus budget). Anggaran defisit adalah anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah (T ˂ G atau G > T). Politik anggaran defisit, biasanya ditempuh bila pemerintah ingin menstimulir pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila perekonomian berada dalam kondisi resesi. Dengan asumsi kondisi awal anggaran pemerintah adalah anggaran berimbang (G = T), bila pemerintah menempuh anggaran defisit, maka ∆G > ∆T, di mana ∆G ≥ 0 dan ∆T ≥ 0. Karena ∆G > ∆T, maka jika pemerintah menempuh politik anggaran defisit, pemeritah dianggap memilih kebijakan fiskal ekspansip.
∆Y karena ∆G =  
∆Y karena ∆T = -
Sehingga total pengaruhnya (karena ∆G dan ∆T) adalah:
∆Y =  + -
                 =
Karena penyebutnya sama, yaitu (1-b), maka pengaruhnya dapat ditulis sebagai:
            ∆Y =
            Jika ∆G > ∆T, maka dapat dikatakan ∆G = ∆T + W, dimana W = ∆G - ∆T, sehingga:
 ∆Y =
     =
    = ∆T +
 Jadi bila politik anggarannya adalah anggaran defisit, maka pengaruhnya terhadap pertambahan pendapatan lebih besar dibanding besarnya defisit pengeluaran yang direncanakan. Bila ∆T = 0; (W = ∆G) atau ∆G = 0; (W = ∆T)
b.      Anggaran surplus (surpus budget)
Kebalikan dari anggaran defisit, dalam anggaran surplus pemerintah merencanakan penerimaan lebih besar dari pengeluaran (T > G atau D ˂ T). Atau dapat juga di katakan pemerintah menempuh politik anggaran surplus bila ∆C ˂ ∆T, dimana ∆G dan ∆T ≥ 0. Karena itu juga, politik anggaran surplus dilakukan bila perekonomian sedang dalam tahap ekspansi dan terus memanas (overheating). Melalui anggaran surplus pemerintah mengerem pengeluarannya untuk menurunkan tekanan permintaan atau mengurangi daya beli dengan menaikan pajak. Pengaruh anggaran surplus terhadapa output keseimbangan adalah kebalikan dari pengaruh anggaran defisit.
c.       Anggaran berimbang (Balanced Budget)
Pemerintah dikataakan menempuh politik anggaran berimbang bila pengeluaran direncanakan akan sama dengan penerimaan (G = T dan atau ∆G = ∆T). Tidak ada ketentuan pokok dalam kondisi ekonomi sepertia apa politik anggaran berimbang ditempuh. Namun bila pemerintah memilih politik anggaran berimbang, dua hal utama yang ingin dicapai adalah peningkatan disiplin dan kepastian anggaran.
2.1.5 Efektivitas Kebijakan Fiskal
            Kebijakan fiskal dikatakan efektif bila mampu mengubah tingkat bunga (r) dan atau output sesuai dengan yang diinginkan pemerintah. Pengaruh kebijakan fiskal terhadap output keseimbangan, pertama-tama terjadi melalui pengaruhnya terhadap keseimbangan pasar barang dan jasa.
a.         Dampak kebijakan fiskal terhadap keseimbangan pasar barnag-jasa
            Dampak pengeluaran pemerintah yang ekspansif (∆G > 0, sementara ∆T = 0) menebabkan kurva IS bergeser kekanan. Pada tingkat bunga yang sama.
b.      Dampak kebijakan fiskal ekspansif terhadap inflasi
Dalam analisis IS-LM, perekonomian baru dikatakan berada dalam keseimbangan jika pasar uang-modal juga berada dalam keseibangan.
Dalam diagram terlihat bahwa kondisi keseimbangan awal tercapai pada saat tingkat bunga adalah rₒ  dan output keseimbangan adalah Y*. Bila pemerintah menempuh anggaran ekspansif yang menyebabkan kurva IS bergeser ke IS1, tadinya yang diharapkan pemerintah adalah bertambahnya output keseimbangan sebesar (Y* – Y*), sementara tingkat bunga tetap. Jarak Y*– Y* adalah sebesar ∆G/(1-b). Namun bila diperhaikan, yang trejadi adalah output keseimbangan hanya mencapai Y* yang lebih kecil dari yang ditargetkan (Y*). Bahkan terjadi inflasi dilihat dari tingkat bunga yang bergeser ke r.
Ternyata penambahan pengeluaran pemeritah telah menyebabkan naiknya pengeluaran agregat. Naiknya penegluaran agregat menyebabkan keinginan sektor swasta melakukan investasi semakin besar. Hal tersebut memang diharapkan pemrintah. Besarnya investasi swasta yang diharapkan pemerintah kita sebut sebagai investsai yang diharapkan (expected investment), yang dinotasikan Iᴱ. Tapi sayangnya peningkatan permintaan investasi tidak di sertai dengan peningkatan kemampuan pemberian kredit. Hal itu dilihat dari kurva LM yang tidak bergeser kekanan. Jika permintaan investasi meningkat, sedangkan penawaran kredit tetap, terjadilah kelebihan permintaan investasi yang menyebabkan naiknya harga investasi. Ini ditunjukan dengan naiknya tingkat bunga. Naiknya tingkat bunga, yang berarti naiknya tingkat biaya modal, menyebabkan ada rencana-rencana investasi menjadi tidak layak (no feasible), sehingga terpaksa dibatalkan. Akibat lebih lanjut permintaan investasi nyata (real investmen, Iᴿ) tidak sebesar yang ditargetkan (Iᴿ ˂ Iᴱ). Karena investasi riil lebih kecil dari investasi yang diharapkan, maka pertumbuhan ekonomi riil juga lebih kecil dari yang diharapkan. Dalam diagram 22.4 terlihat bahwa Y*₂ - Y* atau ∆Y riil lebih kecil dari Y* - Y* atau ∆Y yang diharapkan.
c.       Slope kurva IS dan LM
           Secara grafis, slope LM akan memengaruhi efektivitas kebijakan fiskal. Diagram 22.5 memberikan beberapa perbandingan.
           Bila slope kurva LM mendatar sejajar sumbu horizontal (interval keynesia), maka kebiajakn fiskal efektif sempurna, karena mampu memengaruhi output keseimbangan tanpa menimbulkan inflasi. Menurut para ekonomi Keynesian, kurva LM yang mendatar menggambarkan perekonomian berada dalam kondisi lesu karena perangkap likuiditas, dimana sekalipun tingkat bunga sudah sedemikian rendah, tingkat investasi tidak meningkat. Hal ini terjadi karena begitu lemahnya ekspetasi masyarakat. Agar perekonomian pulih kembali, maka ekspektasi harus dipulihkan. Untuk itu dibutuhkan campur tangan pemerintah melalui peningkatan pengeluaran pemerintah yang akan mendorong kegiatan ekonomi.
           Dalam diagram terlihat bahwa kebijakan fiskal ekspansif (ISₒ ke IS), telah menaikkan output keseimbangan dari Yₒ ke Y, sementara tingkat bunga tetap di r.
           Pada interval antara, dimana slope LM > O, kebijakan fiskal ekspansif (IS₃ ke IS₄), telah menaikan output dari Y₂ke Y₃, tetapi tingkat bunga juga naik dari r₃ ke r₄.
            Bila slope LM tegak lurus (interval klasik), perekonomian berada dalam kondisi seperti yang diasumsikan klasik, yaitu kesemptan kerja penuh (full employment) dan uang yang bersifat netral. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan fiskal tidak efektif sempurna.
Gambaran lebih rinci tentang hubungan antara slope kurva IS-LM dengan efektivitas kebijakan fiskal dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 22.1
Efektivitas kebijakn fiskal terhadap output
Dan tingkat harga (bunga)

Kurva LM elastis sempurna (interval keynes)
Kurva LM positif (interval antara)
Kurva LM inelastis sempurna (interval klasik)
Kurva IS Elastis sempurna
Tidak terdefinisikan
Fiskal ekspansif:
Y naik, r naik
Fiskal kontraktif:
Y turun, r turun
Kebijakan fiskal tidak efektif empurna. Fiskal ekspansif:
Y tetap, r naik
Kurva ID Negatif
Kebijakan fiskal efektif sempurna. Fiskal ekspansif:
Y naik, r tetap
Fiskal kontraktif:
Y turun, r tetap
Fiskal ekspansif:
Y naik, r turun
Fiskal kontraktif:
Y turun, r turun
Kebijakan fiskal tidak efektif sempurna. Fiskal ekspansif:
Y tetap, r naik
Kurva IS
Ielastis
sempurna
Kebijakan fiskal efektif sempurna.
Fiskal ekspansif:
Y naik, r tetap
Fiskal kontraktif:
Y turun, r tetap
Fiskal ekspansif:
Y naik, r naik
Fiskal kontraktif:
Y turun, r turun
Tidak terdefinisikan

2.2 Teori Konsumsi  
2.2.1 dasar teori
            Investasi merupakan salah satu bentuk penanaman modal yang dilakukan dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan di masa depan.
a.       Investasi dalam bentuk barang modal dan bangunan
            Yang tercangkup dalam invesatasi barang modal (capital goods) dan bangunan (construction) adalah pengeluaran – pengeluaran untuk pembelian pabrik-pabrik, mesin-mesin, peralatan-peralatan produksi dan bangunan-bangunan atau gedung-gedung yang baru. Karena daya tahan barang modal dan bangunan pada umumnya lebih dari setahun, seringkali investasi ini disebut sebagai investasi dalam bentuk harta tetap (fixed investment).
b.      Investasi persediaan
            Berdasarkan pertimbangan, perusahaan seringkali harus memproduksi lebih banyak daripada target penjualan. Misalnya, sebuah pabrik mobil menargetkan penjualan tahun 2.000 adalah 50.000 unik. Tidaklah berarti produksinya harus 50.000 unit juga. Umumnya produksinya melebihi tingkat penjualan. Sebut saja 60.000 unit. Selisih 10.000 unit merupakan persediaan, untuk mengatisipasinya berbagai kemungkinan. Tentu saja investasi persediaan diharapkan meningkatkan penghasilan / keuntungan. Investasi dalam bentuk persediaan bisa dilakukan dalam bentuk persediaan bahan baku dan barang setengah jadi/sedang dalam proses penyelesaian. Tujuan kebijaksaan persediaan ini juga tetap dalam konteks meningkatkan pendapatan atu keuntungan dimasa mendatang.
2.2.2 Kriteria Investasi
Minimal ada 4 kriteria investasi yang digunakan dalam praktik, yaitu :
1)      Payback Period (periode pulag pokok), adalah waktu yang dibutuhkan agar investasi yang direncanakan dapat dikembalikan, atau waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik impas. Jika waktu yang dibutuhkan makin pendek, proposal investasi dianggap makin baik. Kendatipun kita harus mempertimbangkan criteria payback ini. Sebab, ada investasi yang baru menguntungkan dalam jangka panjang (>5 tahun).
2)      Benefit / cost ratio (B/C Ratio), mengukur mana yang lebih besar, biaya yang dikeluarkan disbanding hasil output yang diperoleh. Biaya yang dikeluarkan dinotasikan sebagai C (Cost). Output yang dihasilkan sebagai B (benefit). Jika nilai B/C sama dengan 1 maka B = C yang dihasilkan sama dengan biaya yang dikeluarkan.
3)      Net Present Value (NPV), Keuntungan lain dengan menggunakan metode diskonto adalah kita dapat langsung menghitung selisih nilai sekarang dari biaya total dengan penerimaan total bersih. Selisih inilah yang disebut net present value. Suatu proposal investasi akan diterima jika NPV > 0, sebab nilai sekarang dari permintaan total lebih besar daripada nilai sekarang dari biaya total.
4)      Internal  Rate of return ( IRR ), adalah nilai tingkat pengembalian investasi, dihirung pada saat NPV sama dengan nol. Jika pada saat NPV = 0, nilai IRR = 12%, maka tingkat pengembalian investasi adalah 12%. Keputusan menerima atau menolak rencana investasi dilakukan berdasarkan hasil perbandingan IRR dengan tingkat pengembalian investasi yang di inginkan (r). jika r yang diinginkan adalah 15%, sementara IRR hanya 12%, proposal invastasi ditolak. Begitu juga sebaliknya.

2.2.3        Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Investasi
a.         Tingkat pengembalian Yang Diharapkan ( Expected Rate Of Return )
            Kemampuan perusahaan menentukan tingkat investasi yang diharapkan, sangat dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal perusahaan.
1)      Kondisi Internal Perusahaan, adalah faktor-faktor yang berada di bawah control perusahaan, misalnya tingkat efisiensi, kualitas SDM dan teknologi yang digunakan. Ketiga aspek tersebut berhubungan positif dengan tingkat pengembalian yang diharapkan. Artinya, makin tinggi tingkat efisiensi, kualitas SDM dan teknologi, maka tingkat pengembalian yang diharapkan makin tinggi.
2)       Kondisi Eksternal Perusahaan yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan akan investasi terutama adalah perkiraan tentang tingkat produkdi dan pertumbuhan ekonomi domestic maupun internasional. Jika diperkirakan tentang masa depan ekonomi nasional maupun dunia bernada optimis, biasanya tingkat investasi meningkat, karena tingkat pengembalian investasi dapat dinaikkan.
Selain perkiraan kondidi ekonomi, kebijakan yang ditempuh pemerintah juga dapat menentukan tingkat investasi. Kebijakan menaikkan paak, misalnya, diperkirakan akan menurunkan tingkat permintaan akan agregat. Akibatnya tingkat investasi akan menurun. Factor sosial politik juga menentukan gairah investasi, jika sosial-politik makin stabil, investasi umumnya juga meningkat. Demikian pula factor keamanan (kondisi keamanan Negara).
b.        Biaya investasi
            Yang paling menentukan tingkat biaya investasi adalah tingkat bungan pinjaman ; makin tinggi tingkat bunganya, maka biaya investasi makin mahal. Akibatnya minat berinvestasi makin menurun. Namun , tidak jarang,walaupun tingkat bunga pinjaman rendah, minta akan investasi tetap rendah. Hal ini disebabkan biaya tota investasi masih tinggi. Factor yang mempengaruhi terutama adalah masalah kelembagaan.
c.         Marginal efficiency of capital (MEC), tingkat bunga, dan marginal efficieny of investment (MEI)
1)      Marginal efficiency of capital (MEC),Invetasi, dan tingkat bunga
Yang dmaksud dengan marginal efficiency of capital (MEC) atau efisiensi modal marjinal (EMM) adalah tingkat pengembalian yang di harapkan (expected rate of return) dari setiap tambahan barang modal.
2)      Marginal efficiency of capital (MEC) dan marginal efficiency of investment (MEI)
Sama halnya dengan kurva permintaan akan investasi, kurva MEC secara nasional dapat di turunkan dengan menjumlahkan secara horizontal kurva-kurva MEC dari perusahaan-perusahaan yang ada dalam perekonimian tetapi ada beberapa ekonom yang tidak sependapatan dengan cara penurunan kurva MEC. Padahal jika permintaan barang akan modal secara nasional meningkat, logikanya tingkat bunga akan naik. Akibatnya kenaikan permintaan akan investasi tidak sebesar lurva MEC . kurva yang lebih relevan adalah kurva yang marginal efficiency of investment (MEI) atau efisiensi investasi marginal (EIM).
            Jadi,dapat disimpulkan bahwa Investasi adalah pengeluaran atau perbelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Investasi merupakan komponen kedua yang menentukan tingkat pengeluaran agregat.
2.2.4        Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Ditingkat perusahaan, syarat untuk memelihara keuntungan adalah dengan menjaga agar tingkat produksi tidak berkurang. Untuk itu stok barang modal tidak boleh berkurang. Dilihat dari sisi ini, investasi merupakan upaya memelihara stok barang modal (capital stok adjustment process). Besarnya investasi yang harus dilakukan untuk memelihara barang stoka dalah senilai presentase penyusutan dikalikan stok barang modal yang diharapkan. Keputusan perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan stok barang modal memberikan dampak positif terhadap total perekonomian, sebab peningkatan stok barang modal secara nasional akan dapat meningkatkan kegiatan produksi dan juga dapat memperluas kesempatan kerja. 










BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola/mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau diinginkan dengan cara mengubah-ngubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah dan mempunyai tujuan yang sama persis dengan kebijakan moneter. Perbedaannya terletak pada instrumen kebijakannya. Jika dalam kebijakan moneter pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar, maka dalam kebijakan fiskal pemerintah mengendalikan penerimaan dan pengeluaran.
            Investasi adalah pengeluaran atau perbelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Investasi merupakan komponen kedua yang menentukan tingkat pengeluaran agregat












DAFTAR PUSTKA
RAHARDJA, Prathama dan Manurung, Mandala, pengantar ilmu ekonomi, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universias Indonesia, 2008.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar